Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info

Thursday, October 27, 2011

Jangan Menghina Buah Hati

Panggilan buruk kepada anak berdampak negatif bagi kepribadian dan jiwanya. Sudah saatnya, orangtua berhati-hati.

“ Aduh, anak saya ini lho, nakal sekali dan tidak bisa diatur.”
“Anak bodoh, begitu saja tidak becus.”
 “Eh, kamu tidak mau dengar ya? Dasar anak bolot.”

Petikan kalimat di atas sering kali meluncur dengan enaknya dari para orangtua. Kata-kata tak layak itu diungkapkan tanpa merasa berdosa dan menimbang-nimbang dampak negatifnya.

Setidaknya ada tiga tipe orangtua yang berkaitan dengan kalimat-kalimat tak pantas di atas. Tipe pertama adalah orangtua “sempurna” yang begitu susah menerima kesalahan atau kekurangan anak-anaknya. Lalu kalimat-kalimat negatif akan keluar dengan mudahnya. Tipe kedua, jenis orang tua yang memilih-milih moment untuk mengucapkan kalimat-kalimat tak pantas untuk anaknya. Dan tipe terakhir, orangtua-orangtua yang berpikiran positif dan selalu meliat hal positif dari anak-anaknya.

Labeling dan Budaya
Labeling adalah sebuah proses memberikan predikat tertentu, baik pada manusia atau benda. Tapi mulai kini, berhati-hatilah para orangtua yang sering memberikan label pada anaknya. Menurut A Handbook for The Study of Mental Health, labelisasi yang diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut. Jika label yang baik sih tak jadi masalah. Tapi bagaimana jika labelnya buruk?

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Dr. Seto Mulyadi, mengidentifikasi “labeling buruk” pada anak sebagai salah satu bentuk kekerasan verbal yang dilakukan orangtua. Menurut Seto, pola asuh orangtua yang salah terhadap anak disebabkan karena faktor budaya. Kasus orangtua memojokkan anak dengan kata-kata yang tidak beretika muncul dari budaya sudut pandang orangtua yang keliru. “Orangtua yang tak bijak sering beranggapan bahwa anak itu boleh diperlakukan sewenang-wenang. Orangtua selalu benar sedangkan anak selalu salah. Lalu tindakan kekerasan terhadap anak adalah wajar, bahkan suatu keharusan. Anehnya, orangtua kerap melakukan pembenaran atas kebrutalannya dengan dalih, anak harus diberi ketegasan. Semua itu keliru dan tidak pada tempatnya,” Seto menyayangkan.

Seto Mulyadi yang dikenal sebagai pakar psikologi anak ini mengatakan, labeling buruk sangat berdampak negatif bagi perkembangan jiwa anak. Apalagi bila labeling itu dalam bentuk yang negatif, seperti melabelkan anak dengan perilaku bandel, bodoh, biang kerok dan sebagainya. Seyogyanya kebiasaan-kebiasaan buruk ini dihentikan orangtua. Sebab kalau tidak, labeling akan menjadi sugesti bagi anak untuk mensifati label-label buruk yang dilekatkan kepadanya itu. Seorang anak bisa saja menghentikan perbuatan baiknya manakala ia mengingat-ingat label yang dilekatkan kepadanya, seperti ungkapan seorang anak, “Kata mama, saya nakal dan bodoh.”

Dr. Seto Mulyadi yang akrab dipanggil Kak Seto ini mengingatkan, dalam teori labeling itu ada satu pemikiran mendasar yang akan berpengaruh di kemudian hari. “Seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian (menyimpang, red) dan diperlakukan seperti orang devian akan menjadi devian.”

Anak yang diberi label negatif, lalu mengiyakan label tersebut bagi dirinya dan cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan.

Mohammad Fauzil Adhim, pemerhati masalah anak dan keluarga melihat, dalam kasus ini ada faktor ketidaksiapan menjadi orangtua. “Terkadang pendidikan seseorang itu tidak menjamin dia untuk siap memposisikan diri sebagai orangtua. Orang yang berpendidikan tinggi sekali pun, kalau tidak siap menjadi orangtua, dia bisa terjebak pada kasus ini,” papar Mohammad Fauzil Adhim yang banyak menulis buku tentang anak dan keluarga ini.

Merasa diri berharga dan dicintai adalah hal penting bagi tumbuh kembang kepribadian dan jiwa anak. Dan perasaan ini bisa didapatkan dari respon orang-orang sekitarnya, terutama orang terdekatnya, orangtua. Jika respon orangtua positif, tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya sebagai orangtua, tidak dapat menahan diri sehingga memberikan respon-respon negatif seputar perilaku anak. Walau pun sesungguhnya orangtua tidak bermaksud buruk.
Tapi tidak selamanya proses labeling itu buruk. Mohammad Fauzil Adhim menjelaskan, bila label itu dilekatkan dengan sifat-sifat positif, maka hasilnya juga akan positif. itu jauh lebih baik. “Sejak awal kelahiran (bayi), labeling baik itu harus sudah dilakukan dengan cara memberikan nama yang baik buat anak, bahkan jauh sebelum anak itu lahir,” ujarnya. Fauzil Adhim mengimbau, sudah saatnya orangtua itu sadar akan posisinya sebagai pengasuh, pengayom, pendidik, dan pelindung bagi buah hati.

Tentang yang satu ini, Kak Seto menambahkan, “Bila orangtua menginginkan anaknya tumbuh normal dan sehat dari sisi kejiwaannya, hendaknya ia mengubah paradigmanya yang keliru. Anak harus dihargai dan dilindungi dari tindak kekerasan, baik kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal. Anak pun sama dengan orangtua. Ia mempunyai hak dan martabat. Hentikanlah budaya otoriter dalam mendidik anak.”
Pemerhati masalah perkembangan anak yang lain, Dra. Rahmita Pratama, dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia mengingatkan, agar orangtua selalu berusaha bersikap arif pada anak mereka. “Memang dalam kondisi tertentu adakalanya orangtua sudah tidak sabar. Jika kesabaran sudah diambang batas, sebelum kata-kata negatif keluar, ada baiknya orangtua menarik diri sementara dari anak,” saran Rahmita.

Selain itu, Rahmita menekankan arti pentingnya orangtua memperhatikan bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan anak. Orangtua harus bertuturkata lemah lembut. Ada pepatah, anak itu laksana kertas putih. Orangtua yang akan mewarnainya. Karenanya, orangtua harus berhati-hati dan mempertimbangkan segala ucapannya di hadapan anak.

Karena anak laksana kertas yang putih, maka tak satupun orangtua rela kertas putih itu coreng moreng tak keruan rupa. Meski kadang lupa, hakikatnya setiap orangtua ingin menghiasa kertas putih dengan tinta dan huruf-huruf emas di atasnya. Jangan terlambat, mulai sekarang juga.


sumber:
Ikhwan Fauzi

1 comments:

Anonymous said...

ya ampun, ortu saya suka katai saya bodoh, idiot, bloon, jelek, setan, goblok dan suka fitnah saya. saya menderita sekali, ingin pergi dari rumah, atau bunuh diri :(

Post a Comment

Anda puas beritahu orang lain, Anda kurang puas beri saran pada kami, Makasiy..

Twitter Google + Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | Affiliate Network Reviews