Tiba-tiba, saya marah kepada anak saya. Saya membelalakkan mata lebar-lebar, dengan wajah menegangkan dan suara yang menakutkan. Untunglah istri saya segera bertindak.
Ia panggil anak saya baik-baik, mengajaknya bicara empat mata tanpa amarah yang meluap-luap, lalu
menasehatinya dengan lembut dan tegas. Anak saya yang usianya belum mencapai lima tahun itu memerah matanya, merebahkan badannya di pangkuan ibunya tanda bahwa ia menyesal -bukan kesal.
Entah apa yang dikatakan oleh ibunya, seperti nyaris berbisik, tetapi anak saya segera keluar menemui saya.
"Bapak, aku sayang sama Bapak. Aku minta maaf, ya?" katanya.
Saya pegang tangannya lalu saya pangku.
"Iya, Nak. Bapak juga minta maaf. Tadi bapak salah. Bapak nggak boleh marah seperti itu," kata saya menanggapi, sambil diam-diam merasa malu.
Ya, saya tidak boleh marah dengan cara yang buruk. Memarahi anak memang boleh jika benar-benar
dibutuhkan. Tetapi memarahi berbeda dengan marah. Memarahi tidak selalu karena marah, meski acapkali orangtua memarahi anaknya karena emosi yang meluap-luap, saat hati dan pikiran sama-sama keruh. Memarahi bisa kita lakukan dengan kondisi emosi yang terkontrol, jernih dan tenang.
Lalu, seperti apa marah dengan cara yang buruk? Dan bagaimana pula seharusnya bila kita harus memarahi anak?
SUMBU PENDEK
Ada beberapa hal buruk yang sering dialami orangtua semacam saya. Mereka cepat tersulut emosinya karena ada hal-hal yang kurang menyenangkan dari anak. Mereka cepat melampiaskan kemarahan hanya karena kejadian-kejadian kecil, tanpa berusaha mengendapkan terlebih dulu untuk mencari jalan paling jernih. Tidak menunggu waktu lama untuk mencubit anak dengan keras, membelalakkan mata secara menakutkan, atau segera menghujaninya dengan kata-kata makian dan umpatan.
Begitu anak melakukan sedikit kesalahan, atau bahkan belum tentu merupakan kesalahan, seketika itu pula orangtua menyerangnya dengan kata-kata ancaman, cap yang buruk atau pertanyaan yang memojokkan. Orangtua semacam ini memiliki sumbu pendek, sehingga cepat terbakar tanpa sempat berpikir.
Sebagian orangtua sumbu pendek menganggap tindakan yang keras, mudah meledak dan reaktif sebagai pilihan terbaik untuk memberi pelajaran pada anak.
"Biar anak tidak kurang ajar," kata seorang ibu,
"Mereka harus diajari sopan santun."
Sayangnya, banyak yang merasa mengajarkan sopan santun tanpa pernah menerangkan kepada anak apa yang seharusnya dilakukan. Mereka hanya memberi hukuman yang menyakitkan dan memarahinya habis-habisan ketika anaknya berbuat yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Padahal, ada kaidah yang mengatakan, "Qubhunal 'iqab bila bayan." Adalah buruk menyiksa (menghukum) tanpa memberi penjelasan.
Menghukum dengan memberi penjelasan bukan berarti memukuli atau membentak-bentak sambil menyanyikan lagu cercaan,
"Bodoh itu.
Awas, kalau kamu melakukan lagi,
Saya jewer kamu.
Ayo, kamu ulangi lagi nggak?
Awas kau anti!
Kalau kamu lakukan lagi, saya lempar kamu."
Menghukum dengan memberi penjelasan berarti, kita menunjukkan kepada anak apa yang baik, apa yang
sepatutnya dilakukan, dan sesudahnya menunjukkan apa yang tidak baik untuk dikerjakan. Kita tunjukkan
kepada anak konsekuensinya jika anak mengerjakan yang buruk dan salah. Atau, kita jelaskan kepada anak dengan cara yang lembut dan tegas kesalahan yang baru saja ia lakukan.
Sikap yang reaktif atau bahkan impulsif dalam menghukum anak akan menjadikan anak belajar menganggap kekerasan sebagai hal yang biasa. Tidak menakutkan. Mereka tidak lagi merasa takut mendapat hukuman orangtua, asal keinginannya terpenuhi. Alhasil, jika Anda sering sekali memarahi anak -apalagi kalau sulit ditebak apa yang membuat Anda memarahinya- jangan salahkan siapa-siapa kalau anak menganggap Anda sebagai macan kertas. Jangan kaget kalau ibunya marah-marah, tetapi anaknya yang kelas empat SD berkata, "Tuh, ibu lagi kumat."
Sekalipun memarahi dengan cara ini memang bisa menghentikan perilaku negatif anak, tetapi bukan karena sadar. Anak berhenti melakukan semata-mata karena takut kepada orangtua. Sewaktu-waktu ketakutan itu memudar, atau merasa tak terjangkau oleh pengawasan dan kemarahan orangtua, atau pun merasa sudah punya kekuatan untuk berkata tidak, anak tidak lagi patuh kepada orangtua. Sebaliknya, anak bahkan bisa melawan orangtua.
Itulah sebabnya kenapa sebagian anak begitu patuh pada orangtua saat mereka kanak-kanak, tetapi berubah menjadi penentang saat remaja. Ada pula yang tetap menjaga kepatuhan sampai masa remaja, tetapi hanya di hadapan orangtua atau berada dalam jangkauan pengawasan orangtua.
Jika ini terjadi pada anak-anak kita, saya tidak dapat membayangkan bagaimana nasib kita di akhirat kelak. Jangankan di akhirat, ketika uban belum memenuhi kepala pun kita sudah bisa sangat kerepotan. Kita tidak pernah bisa istirahat, meski cuma sejenak. Kita dipaksa mengawasi mereka terus-menerus, padahal kita tidak akan pernah punya kesanggupan untuk mengawasi mereka secara benar-benar sempurna.
Karenanya, marilah kita memohon kepada Allah penjagaan atas hati dan iman anak-anak kita. Sesungguhnya, sebaik-baik penjaga adalah Allah 'Azza wa Jalla. Selebihnya, marilah kita ingat pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw.
"Ya Rasul Allah, berpesanlah kepadaku."
Nabi saw berpesan, "Laa taghdhab! Jangan marah."
Laki-laki itu bertanya berulang-ulang, tetapi Nabi saw tetap berpesan berulang kali pula, "Laa taghdhab!
Jangan marah." (HR. Bukhari).
Ya, jangan marah. Tetapi alangkah sulitnya menahan marah bila hati sedang keruh dan pikiran sedang rusuh. Lebih-lebih jika tak ada keteduhan jiwa antara suami dan istri lantaran kurangnya syukur atau banyaknya keluh kesah. Atau boleh jadi keadaan itu tidak terjadi di rumah kita, tetapi kita masih sulit mengelola emosi sehingga mudah melampiaskan kemarahan secara berapi-api. Dan inilah yang dirasakan oleh banyak orangtua. Mereka sebenarnya ingin menjadi orangtua yang paling lembut, paling sayang dan paling bijak kepada anaknya. Mereka tidak ingin kasar dan bertindak secara tergesa-gesa, tetapi masih saja sering melakukan kegagalan.
Dalam kasus yang terakhir ini, kerjasama antara suami dan istri sangat penting peranannya. Mereka perlu saling mengingatkan dan saling menyadari keterbatasan.
Berkenaan dengan mengingatkan, ada dua hal penting yang perlu kita perhatikan.
1. Ingatkanlah kekeliruan yang dilakukannya saat ini tanpa memojokkan. Tanpa menyalahkan. Teguran yang disampaikan dengan baik dan lembut akan lebih mudah diterima. Seperti sore itu, istri saya memberi teguran dengan empatik tanpa suara yang meninggi, sehingga saya segera menyadari kekeliruan atas tindakan saya kepada anak.
2. Terimalah teguran itu dengan lapang. Bukan sebagai ancaman atau serangan terhadap harga diri. Sebaik dan selembut apa pun nasehat yang diberikan, tapi kalau kita menerimanya dengan penuh kecurigaan ("Tumben, kok dia bicara seperti itu."), menganggapnya sebagai serangan terhadap harga diri ("Kok sepertinya cuma saya yang bersalah, padahal dia juga melakukan banyak kesalahan."), apalagi kita tanggapi dengan serangan balik ("Apa kamu merasa tidak pernah melakukan kesalahan?"), maka seluruh upaya yang baik itu akan sia-sia.
Komunikasi akan macet dan saling pengertian tidak tercapai. Boleh jadi, ini akan memicu komunikasi yang bernada saling menyerang dan memaksa. Inilah yang disebut coercive communication, salah satu penyebab utama pertengkaran dan perceraian.
Masih tentang marah. Memarahi anak secara impulsif, tiba-tiba, dan tanpa berpikir jernih justru dapat membuat anak kebal hukuman. Ia tidak lagi takut terkena bentakan, cubitan atau bahkan pukulan yang paling keras sekalipun. Ia merasakannya sebagai ritme hidup yang harus dijalani dan karena itu tidak perlu dirisaukan lagi. Rasa dongkol dan sakit hati memang tetap ada, tetapi tidak membuat anak jera.
Jika ini terjadi, kemarahan orangtua akan berkejar-kejaran dengan "kenakalan" anak. Orangtua marah sepanjang hari, berteriak setiap saat, dan mencubit tanpa henti; sementara anak akan tetap melakukan kenakalannya. Bahkan boleh jadi, anak akan berusaha melawan sebisa-bisanya.
Keadaan ini akan lebih buruk lagi jika orangtua suka marah semata-mata karena mengikuti kata hatinya. Jadi benar tidaknya perbuatan anak, ditentukan oleh suasana hati orangtua. Hari ini satu perbuatan bisa disambut dengan senyuman, atau sekurang-kurangnya dibiarkan tanpa teguran, tetapi besok bisa tiba-tiba
mendatangkan amarah yang menakutkan. Ini menyebabkan anak tidak bisa belajar mengambil keputusan yang baik. Sebaliknya, ia hanya mengikuti kemana angin bertiup atau belajar melawan. Ia tidak punya pendirian yang teguh, lemah, mudah terpengaruh atau sebaliknya, ia menjadi orang yang sangat keras kepala.
Di sisi lain, tindakan kita yang secara reaktif memarahi anak bisa mematikan kreativitas dan potensi unggul anak. Saya pernah melakukan kesalahan. Dua orang anak saya mengambil cucian yang belum selesai dibilas, sehingga pekerjaan justru bertambah. Saya segera bertindak. Cucian itu saya ambil tanpa bertanya kepada anak. Meskipun tanpa memukul dan atau membentak, tetapi anak saya menampakkan tanda ingin berontak. Ia dongkol. Ketika itulah saya tersentak. Saya dekati mereka dan bertanya,
"Cuciannya kenapa diambil, Nak?"
"Aku mau bantu. Biar ibu nggak capek," kata Husain.
"Aku hati-hati kok ngambilnya, Pak," kata Fathimah menambahkan,
"Aku mau bantu Bapak."
Ya... Allah, maksud yang baik tetapi saya sikapi dengan buruk. Dan alangkah sering kita melakukan yang
demikian. Karenanya, begitu menyadari kekeliruan yang saya lakukan, saya segera meminta maaf sekaligus ucapan terima kasih kepada mereka. Sesudahnya, saya beri sedikit penjelasan. Bayangkan kalau kesalahan semacam itu terjadi setiap hari, betapa besar potensi kebaikan anak yang terkubur dalam-dalam sebelum sempat berkembang!
Benarlah kata Rasulullah. Jangan marah! Jangan marah! Jangan marah! Boleh memarahi anak, tetapi bukan untuk memperturutkan emosi. Ini butuh usaha yang keras dan kesediaan saling mengingatkan
antara suami dan istri.
Nah, semoga Allah membaguskan akhlak kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Semoga Allah menjaga
keturunan kita seluruhnya.
Allahumma amin.
sumber:
Mohammad Fauzil Adhim (Suara Hidayatullah)